"Dari dulu, dari orangtua serta nenek moyang kami, membajak dengan tenaga manusia, manual istilahnya," kata Mulyono, petani Desa Temuwuh, Selasa (7/2). "Kalau pakai hewan, kami tidak punya sapi."
Tinggal di kawasan gersang di perbukitan Seribu memang membuat warga Desa Temuwuh tidak semujur warga di desa lain. Menanam padi hanya dapat mereka lakukan saat curah hujan melimpah. Di luar itu, mereka bekerja sebagai buruh bangunan. Kondisi yang serba sulit ini membuat begitu akrab dengan kemiskinan.
Membajak dengan cara ini memang membutuhkan tenaga besar dan waktu lebih lama. Dalam sehari, hanya seluas 500 meter persegi saja yang bisa diselesaikan. Tidak ada upah yang mereka bawa pulang. Hanya makanan dan minuman ala kadarnya yang disediakan pemilik lahan. Semua mereka lakukan dengan penuh kerelaan atas nama gotong royong.
Hari itu, satu lahan sudah mereka rampungkan. Esok mereka masih akan kembali terjun membajak di lahan lain milik sesama anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur.(liputan6.com)