Ada 135 pengantin pria di tempat itu, namun tidak satu pun terlihat pengantin wanita. Begitulah pemandangan sebuah upacara pernikahan massal di Fujairah, Uni Emirat Arab, Rabu malam lalu (8/12). Namun mereka punya tamu istimewa malam itu, siapa lagi kalau bukan putra mahkota Fujairah.
“Jika kami menikah bersama orang banyak, kami bisa lebih menikmatinya dan syaikh akan menghadiri pernikahan saya,” ujar Abdullah Atlas, 22, pemuda yang bekerja di Al-Ain. Dia tetap gembira meski pengantin wanitanya belum hadir bersama mereka di sana.
Pernikahan massal di Fujairah memang biasa dilakukan pada musim dingin, untuk membantu para pasangan muda yang tidak sanggup membiayai ongkos pesta perkawinan yang terus melambung tinggi. Rata-rata biaya perkawinan di Fujairah antara 300 ribu dirham hingga 400 ribu dirham, jumlah yang membuat banyak pemuda menunda perkawinan.
Untuk membantu para pasangan di Fujairah yang ingin menikah, Putra Mahkota Fujairah Syaikh Muhammad bin Hamad tidak segan mensponsori sebuah perkawinan massal.
Malam itu, aula di Al-Bustan dihiasi kerlap-kerlip lampu neon. 135 pengantin pria berdiri berjajar untuk menerima ucapan selamat dan menyambut kedatangan Syaikh Muhammad.
Mereka mengenakan jubah hitam berhias warna keemasan di tepinya untuk menutupi kemeja kandora berwarna putih. Di kepala mereka terpasang ghutra alias kufiyah dengan warna senada atau bercorak kotak-kotak merah-putih khas Arab. Semerbak wangi parfum dari tubuh para pengantin pria memenuhi ruangan, mengikuti langkah kaki mereka.
Setelah bersalaman dengan syaikh, yang dilakukan secara cepat, mereka kemudian foto bersama. Posenya lebih mirip foto kenang-kenangan akhir masa sekolah daripada foto pernikahan.
Acara kemudian pindah ke aula besar Al-Bustan, tempat di mana telah tersedia 200 kilogram biryani (nasi berbumbu dengan campuran daging, ikan, telur atau sayuran), harees (sajian dari gandum yang dicampur dengan daging dan garam), salad dan buah-buahan yang ditempatkan dalam 200 keranjang berbeda.
Mustafa al-Blushi adalah salah satu calon suami yang berbahagia. Dia telah menunggu selama dua tahun untuk menikahi pasangannya. Sebelumnya bersama teman-teman, Mustafa telah menentukan tanggal perkawinan.
“Ketika kami melihat pengumuman (nikah massal) di koran, maka kami memutuskan untuk ikut dan menikah bersama-sama. (Tentunya) setelah mendapat persetujuan dari keluarga kami,” cerita al-Blushi, pemuda 26 tahun yang bekerja di Dubai.
“Sekarang semuanya sangat mahal dan jika seseorang menggelar pesta kecil-kecilan, maka orang akan menggunjingkannya,” kata al-Blushi menjelaskan alasan mengapa dia memutuskan menikah bersama orang banyak.
“Kami berteman sejak kami masih bayi,” ujar Al-Blushi, sedikit mengungkap siapa wanita yang menjadi pasangannya.
Di luar aula, Ali al-Mansuri, 29, dan Abdullah Atlas mengabadikan momen bersejarah dalam hidup mereka dengan kamera di telepon genggamnya. Mereka bergaya dengan latar belakang pilar-pilar berwarna merah muda.
Begitu bahagianya, sampai-sampai al-Mansuri berjanji akan menari-nari di atas mobilnya saat ia kembali pergi bekerja di Al-Ain keesokan harinya.
“Kalau saya, saya merasa seperti seorang syaikh,” kata Atlas gembira. Dia memamerkan jubah hitam berhias pita keemasan ditepiannya.
“Rasanya sangat keren mengenakan ini. Mungkin ini satu-satunya kesempatan dalam hidup saya bisa mengenakannya,” katanya, tentang jubah hitam khas Arab yang biasa dipakai untuk acara istimewa oleh orang-orang kaya itu.
Sebelum akhirnya menikah, Atlas bertunangan selama 13 bulan. Ibu dan kakak perempuannya yang mencarikan calon istri.
Cerita Atlas berbeda dengan al-Mansuri. Al-Mansuri hanya bertunangan satu pekan. Tapi, sudah bertahun-tahun lamanya mata dan hatinya terpikat oleh si pengantin wanita. Begitu mengetahui pengumuman acara nikah massal, dia langsung tancap gas mendaftarkan diri. Tak ingin kehilangan kesempatan, begitu katanya.
Pengantin wanita akan dibuatkan pesta sendiri-sendiri secara bergiliran.
Meski para wanita yang berpesta, namun di akhir acara pasangan mereka yang akan panas-dingin karena gugup. Setelah pesta usai, pengantin pria harus berjalan menuju panggung tempat wanita pujaan hatinya berdiri menunggu, dengan disaksikan ratusan pasang mata perempuan lain yang menghadiri pesta.
“Abdullah gugup,” kata al-Mansuri menggoda temannya.
“Tidak, tidak, tidak. Saya akan senang,” protes Abdullah Atlas.
Menurut direktur pengelola acara pernikahan, Khalifa Mas’ud, sekitar separuh pengantin pria merasa ketakutan saat mereka harus memasuki ruangan tempat para wanita berkumpul. Bahkan saking takutnya, tidak jarang pengantin pria harus diseret oleh ibu dan saudara-saudara perempuannya.
“Tapi pria adalah pria,” kata Mas’ud. “Jika mereka benar-benar takut, mereka akan menundukkan kepalanya dan terus berjalan.”
http://www.surya.co.id/2010/12/17/ketika-pemuda-negara-kaya-tak-sanggup-biayai-pernikahan.html